Archive for November, 2013


Menunggu Hujan Reda

Lima belas menit dia telah menunggu di halte depan kampusnya. Terlihat lelah menyelimuti wajahnya yang berpeluh. Matanya menerawang jauh ke sebuah tempat yang tak terucapkan.

Hujan turun begitu deras memelankan lalu-lalang kendaraan yang melintas.

Terlihat di sebelah kanannya seorang nenek melihat ke kiri dan ke kanan dalam diam.

“Nunggu bus juga?” tanya perempuan sekitar 70an itu kepadanya.
“Iya, Nek.”
“Nenek sudah di sini dari tadi, tapi bus yang nenek tunggu nggak datang-datang.”
“Oh…memang nenek mau kemana?” Matanya mengamati sang nenek yang memegang erat tas di pangkuannya.
“Mau ke rumah anak nenek.”

Sejenak terlintas pertanyaan di benaknya, “Kenapa nggak dijemput sama anaknya?” Tapi dia urungkan pertanyaan itu.

Di sela gemuruh percikan air, terdengar obrolan beberapa orang di bawah atap halte itu.

“Masih sekolah?” Tiba-tiba nenek itu bertanya lagi sambil memperhatikan ransel dan buku yang dia pegang.
“Iya, masih, Nek,” jawabnya singkat.
“Bagus sekali. Nenek senang melihat anak-anak jaman sekarang yang rajin belajar, yang tidak membuang waktu mereka untuk bermain-main saja.”
Bila menanggapi ucapan sang nenek dengan senyum.

“Masih tinggal sama orang tua?” tanya nenek itu lagi.
“Tidak Nek, orang tua tidak di sini,” jawabnya.
“Aaa… rupanya begitu besar kepercayaan yang orang tuamu berikan. Tidak semua orang tua bisa memberikan kepercayaan seperti itu – melepas anak perempuannya ke kota ini sendiri. Bersyukurlah,” ucap sang nenek.
“Iya, Nek.”

Sekilas Bila kembali mengamati perempuan tua yang duduk di sampingnya itu. Dia teringat sosok neneknya sendiri yang mirip dengan sosok yang ada di dekatnya itu, dengan beberapa perbedaan yang ada. Garis-garis tegas lekukan di wajah tua itu seolah memperlihatkan kerasnya tempaan hidupnya di masa lalu dan kuatnya pendirian yang dia miliki.

“Nenek hujan-hujan begini kok pergi sendirian?” Terucap pertanyaan yang dari tadi dia simpan.
“Iya. Selama nenek masih bisa pergi sendiri, nenek tidak ingin merepotkan orang lain,” jelasnya.
“Hmmm..,” Bila mencerna kata-kata sang nenek, mencoba memahami mengapa sang perempuan tua itu harus merasa merepotkan orang lain kalau dia meminta anak atau kerabatnya mengantarkannya.

Lima menit lagi telah berlalu, tapi bus yang Bila tunggu belum kelihatan juga sementara hujan sudah mulai reda, hanya tetes-tetes air lembut yang terlihat membasahi bentangan lapisan aspal di depannya.

“Kalau boleh tau, nenek tinggal di mana?”
“Rumah nenek masuk gang itu,” jawabnya sambil menunjuk satu gang di seberang halte persimpangan itu.
Bila menganguk-angguk menunjukkan dia mengerti.

Butir air jernih bak berlian masih jatuh beriringan. Keheningan pun bernaung di halte itu. Orang-orang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sejenak kemudian hujan sudah benar-benar reda. Di kejauhan tampak bus biru yang Bila tunggu sedari beberapa menit yang lalu.

“Aaah..Nek, saya duluan ya, busnya sudah datang,” ucapnya kepada perempuan tua di sampingnya sambil berdiri.
“Iya, hati-hati. Jangan lupa untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya Dia yang dapat mengeluarkanmu dari kebingunganmu, masalah-masalahmu dan lelahmu,” dengan senyum yang mengembang sang nenek berpesan.

Bila tercengang, bertanya-tanya apakah nenek itu bisa melihat ke dalam dirinya.
“Iya, Nek. Terima kasih,” ucapnya.

Bus biru berhenti tepat di depan halte. Bila melangkahkan kakinya. Lalu sekilas dari balik kaca jendela dia melihat keluar namun sudah tidak dilihatnya lagi perempuan yang tadi bercengkrama dengannya. Hanya senyum nenek itu yang masih terbayang mengiringi langkahnya.

Tiga puluh menit perjalanan telah berlalu. Bila sudah sampai di depan rumah kontrakannya. Aroma tanah yang tersiram air hujan menghampiri hidung. Bila menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Kedamaian merasuki hatinya. Bayangan orang-orang yang menyayanginya melintas dalam pejaman mata. Kerinduan kepada mereka pun membuncah.

“Apakah aku begitu egois?”

Dia masih berdiri di sana. Dua pilihan menatapnya. Pulang memeluk ibunya yang sedang sakit atau pergi menghampiri kesempatan yang telah lama dia impikan, tiga bulan belajar di Inggris. Kebingungan masih menyelimutinya sejak dia mendapatkan dua kabar siang ini.

“Bila, bisa datang ke ruangan saya sekarang?”
“Ya. Ada apa, Pak?” jawabnya sambil mengikuti langkah Pak Enggar, pembimbing akademiknya.
“Silahkan duduk.”

Bila pun duduk di kursi yang ada di depan meja kerja pembimbingnya itu. Dia melihat beberapa berkas diletakkkan di atas meja oleh Pak Enggar yang kemudian diserahkan kepadanya.

“Bila, selamat lamaranmu untuk program belajar singkat di Inggris diterima. Pihak universitas yang kamu tuju telah mengirimkan surat penerimaannya kemarin. Itu suratnya. Kamu bisa mulai belajar bulan ini, sesuai dengan jadwal yang telah mereka tetapkan. Jadi, paling lambat kamu harus berangkat minggu ini. Persiapkan segala hal yang diperlukan dari sekarang.”

“Beneran, Pak?” Dia masih tidak percaya.
“Ya. Sekali lagi selamat.”
“Terima kasih,” ucapnya sambil menahan rasa bahagia yang tak terkira.
“Baiklah, kamu boleh pergi sekarang.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih.”

Dia meninggalkan ruangan Pak Enggar dengan kebahagiaan yang meluap. Tak sabar untuk segera menyampaikan kabar itu ke ibunya.
“Ibu pasti sangat senang,” pikirnya.

Saat dia baru mau memencet nomor ibunya, mengabarkan kebahagiaanya itu, telepon genggamnya bergetar.

“Ibu, sepertinya kita memang sehati. Saya baru saja mau telepon.”
“Bagaimana kabarmu, Nduk. Sehat? Jadi pulang kapan?”
“Sehat. Ibu gimana? Bu, saya…,” kata-katanya terputus.
“Ibu sedang sakit. Kamu bisa pulang minggu ini? Ibu kangen banget lho sama kamu, Nduk.”

Kabar bahagia yang ingin disampaikannya menggantung di kerongkongan.

“Ibu sakit? Saya juga kangen.”
“Jadi, kapan pulang?”
“Minggu ini saya usahakan pulang,” jawabnya sambil menahan kata-kata lain.
“Ibu tunggu ya, Nduk. Baiklah, hati-hati di sana.”
“Ya.”

Dia terdiam. Kabar itu masih menggantung. Kebahagiaan yang meluap tadi tiba-tiba surut setelah dia tahu ibunya sedang sakit, dan dia harus pulang minggu ini juga.

Bila berjalan meninggalkan kampus, menuju halte di depan kampus. Dia ingin pulang. Lima belas menit dia telah menunggu.Terlihat lelah menyelimuti wajahnya yang berpeluh, dan matanya menerawang jauh ke sebuah tempat yang tak terucapkan. Tiba-tiba hujan turun begitu deras.

Dia masih berdiri di sana, di depan gerbang rumah kontrakannya, dengan mata terpejam.

“Jangan lupa untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya Dia yang dapat mengeluarkanmu dari kebingunganmu, masalah-masalahmu dan lelahmu,” pesan perempuan tua tadi terngiang lagi.
Bila membuka matanya dan menghela nafas.

“Aku pulang, Ibu,” dia berkata dalam hati sambil melangkahkan kakinya ke dalam rumah.

“Aku membawa kabar bahagia. Jika kau ijinkan aku pergi, aku akan pergi. Tuhan, tunjukkan yang terang bagiku.”

Dia pun teringat kata-kata mendiang ayahnya dulu saat memeluknya sambil menikmati butir-butir air yang jatuh bebas dari hamparan langit di sana.

“Jangan menunggu hujan reda untuk menyampaikan kerinduanmu. Berdoalah saat dia jatuh karena dia akan menyampaikan kerinduanmu kepada-Nya.”

–kacabiru–

yang Terbaik: dari-Nya

Semoga ini, semoga begini, semoga itu, dan semoga begitu.

Manusia memang makhluk dengan berjuta harapan dan mimpi. Satu harapan terpenuhi, satu mimpi terwujud, tapi angan tiada habisnya.

Aku pun adalah manusia yang punya segudang harapan dan berlapis-lapis mimpi. Sedari lahir hingga melewai seperempat abad masa di dunia ini, tak terhitung lagi harapan yang terpenuhi dan mimpi yang terwujud. Beberapa diantaranya adalah masuk universitas negeri, bisa lulus tepat waktu, lanjut studi, dapat kerjaan yang menyenangkan, beli gadget atau barang-barang impian dengan hasil keringat sendiri, jalan-jalan ke tempat-tempat yang berkesan, dll.
07102010011
Namun, masih banyak yang tersisa dan tercipta lagi dan lagi. Di antara kumpulan harapan dan mimpi itu: dapat beasiswa lanjut studi di negeri orang; menginjakkan kaki di Venesia, dan salah satu yang utama adalah bertemu seseorang yang bisa mengerti & mau dimengerti, bisa diajak berdiskusi tentang apapun, bisa diajak saling berbagi suka dan duka, bisa berjalan bersama untuk memahami kehidupan, dan yang pasti bisa membimbingku menjadi lebih baik. Untuk urusan yang satu ini dan begitu juga untuk urusan-urusan yang lain, aku sebagai manusia biasa pun, seperti yang lain, berharap yang terbaik dari yang terbaik.

“Terbaik dari yang terbaik” telah menjadi referensi dalam menentukan pilihan, apapun itu. Tapi, selama ini referensi itu masih berorientasi pada keegoisan, baik menurut pandangan sendiri, sehingga ketika sesuatu yang diharapkan tak terpenuhi atau suatu mimpi tak terwujud yang kurasakan adalah semacam kekecewaan. Memang bukan belajar namanya kalau hanya sekali kecewa. Bukankan jatuh saat belajar berjalan itu tak cukup hanya sekali? Pun belajar mengerti arti kata ‘terbaik’ dalam menentukan pilihan: yang terbaik itu bukanlah dari pandanganku, tapi dari-Nya karena Dia lah Yang Maha Tahu apa yang ku butuhkan lebih dari sekedar yang ku inginkan.

We plan, God decide. Whatever we say, it’ll be No if He say No as He is the only director.

–kacabiru–